Jumat, 13 Juli 2012

Dua Seperti, Satu Wajahmu

SEPERTI wajahmu subuh, berpupur embun yang tak terbasuh. Matamu ujung rangka payung, tak habis meneteskan, anak-anak hujan. * Seperti wajahmu siang, terlumur peluh yang miang. Tubuhmu mentah, matahari adalah arang, menyala di atas panggang. Hari segera jadi matang.

Sekata dari Engkau, Sebait dari Aku

1. JAUH sekali pulang, ke dalam sendiri diri. Lama sekali sampai ke sebut nama sendiri. Susah sekali menemu, mencari diri sendiri. 2. AKU kini kamus satu kata, setebal bantal raja, berisi hanya satu lema: letih, dan ribuan lembar uraiannya. Kau penyusunnya. 3. MUNGKIN ada ribuan alarma! Berdering di hatiku ketika merecup benih cinta dari engkau, tangkai yang menari, melepas tebaran spora! 4. AKU pembantai, ribuan cupid kucekik dan mati lunglai. Kenapa masih juga tak kuasa, padamu aku jatuh cinta? 6. BERAPA selam bisa kita menyelam ke dalam hati dalam? Hati adalah sumur tak berdasar, lorong tak berujung, seperti koridor cahaya. 7. KARENA cemburu, aku masuk berburu, ke malam yang lebat. Kukira bisa kutaklukkan hewan biru, penuba hatiku. 8. RINDU kukira adalah jelaga, pada peita, cinta yang tak terbakar sempurna. Tak apa, ia bisa kita pisahkan dari Cahaya, bukan? 9. JENUH itu mungkin sekantong ampas, kucelup sudah ribuan gelas, tak lagi ada rasa menyentuh, di lidahku yang kian kebas. 10. BAHKAN gerbong ini pun tersesat, terlepas dari loko, dan rel yang tak biasa, bias ke arah lain: stasiun yang buas 11. ANAK pipit, di sarang terbakar suatu petang. Tak sempat teriak, "bunda", pada induk yg mengabu sayapnya, mengarang tulangnya 12. MENGUNYAH lirih, pedas daun sirih. Kita yang tak ada: kau dan aku, menumbuk perih. 13. BELUM habis, kita isap resah, ketika sepasang gelas itu, di tangan kita, pecah. Mata kita, saling asah. Malam, makin tajam. 14. DI remang meja kafe, dulu kita atur komposisi, jarak dua hati: kau tak akan lupakan aku, tapi tetap pergi. Begitu? Begitu! 15. MULUTKU pengemis lunglai. Bibirmu kedai ramai. Bila kusinggah, lidahku lepuh, bagai tercelup panas kuah soto, gurih yg membiusku 16. DILEMA, 2 lema tak bernama, tak bisa kusinggahi, kamus yg dulu kutinggalkan, blm kurampungkan. Tak mungkin ada pertanyaan, bukan? 17. APA yg kubayangkan ttg tulus cinta? Daun hijau, mahkota jingga menduga bahwa warna yg merona padanya disebabkan oleh embun 18. SEPERTI lampu atheist, bagaimana ia bisa tak iman pada cahaya? Seperti aku menolak kau, bagaimana aku bisa munkar Cinta? 19. SEPARAH apakah rinduku? Ketika aku menangis karenanya, labirin jalanku mengurai diri, menyusun jalur lurus menujumu. 20. PERTARUHAN penghabisan. Aku letakkan hidup yang edan. Di meja-Mu, perjudian terakhirku.. Ayo, segera bagikan kartu! 21. KAUKAH yang melintas, sepintas, antara riuh terompah dan senyap telimpuh? Aku tak menghitung utuh, angka pecah, sudah berapa subuh? 22. AKU tak akan ucapkan itu: baiklah, kata yang tidak baik itu. Apa baiknya? Kau pergi, aku tahu kenapa dan kemana. Baiklah? 23. KAU pergi. Padaku tertinggal sebilah kenapa, seperti pisau yang menikam-nikam, menggali di kepala. 24. AKU kata, lari, dari kalimatmu yang terlalu sering mengucap sendiri. Aku kata, ingin bikin tempat, bagi pelarian sendiri. 25. AKU mau menunggu, tapi tidak dengan waktu yang liat itu. Lihat, dia tak tertebas, pedang jam, yang sesungguhnya makin tajam.

Lagu Terakhir Kelompok Musik yang Hampir Bubar

CINTA terkadang memang tak senantiasa mudah, bukan? Kita rapuh rangka layangan, dengan angin dipermainkan Sudah terlalu panjang, benang hitam ini kita ulur-ulurkan Kusut serat cahaya kilat, di langit, tak lagi bisa kita bedakan, aku ingin menggulung apa yang tak terputuskan: sebelum segalanya jadi rumit dan tak dapat diuraikan... Hujan itu airmata yang melebat tapi sudah sangat hambar Cinta sewaktu-waktu memang tak selalu sampai, bukan? "Aku ingin menangis," katamu. Aku mungkin akan jadi sabar, bisa berkali-kali mendengar, seperti menyimak lagu terakhir, karya seperdua hati, kelompok musik yang hampir bub

Sungsang Buku Sepasang

KITA sepasang Buku, terbuka, tapi tak saling baca. Halaman kita makin buram, dan kita merasa yang tertulis di sana adalah sabda. Kita lupa Tangan yang menulis pada kita, adalah Tangan yang sama. Kita lupa Serat yang mengertas pada kita adalah Serat yang sama. Kita sepasang Buku yang lupa, ingin saling menghapus nama, padahal sejak semula namaku tertulis di halamanmu, namamu terbaca di halamanku.

Tak Ada yang Tahu

TAK ada yang tahu, seperti aku kau rendam dalam diam kopi, sepadam mata malam, tak mengampas dinding gelas, Tak ada. Tak ada yang tahu. Tak ada, rahasia yang membayang, badai di rusuh sendiri, di layar lingerie, aku dalang mabuk, kau? Wayang yang memainkan aku! Aku lupa pada cerita. Aku nakhoda, tak berdiri pada kemudi, memaki sendiri Tak ada yang tahu, akan termuat kita dalam duka: maut yang melaut, atau terbit pada tanya hidup yang melangit? Tak ada yang tahu

SEGERA TERBIT! Dalam buku ini, Hasan Aspahani telah mengembangkan lebih lanjut usaha untuk memasukkan berbagai jenis teks ke dalam sajak-sajak yang disusunnya, suatu usaha yang berhasil memberi ruang lebih luas bagi kita untuk ikut 'bermain-main' dengan teks-teks yang disisipkannya sehingga masing-masing kita bisa sampai ke makna yang tidak hanya berbeda-beda, tetapi juga lebih dalam jangkauannya. - Sapardi Djoko Damono 1 NOVEMBER 2010 [ Dongeng Kopi #002 ] Lagu yang Hanya Kau yang Mendengar DIA, Roy Croft namanya, adalah penyair misterius. Mungkin dia tidak pernah ada. Orang menebak-nebak saja bahwa ia pernah hidup antara 1905-1980. Bait-bait sajaknya selalu - ya, hampir selalu hadir - dalam khotbah pemberkatan pernikahan. Kalau kau mendengar pendeta berkata: "Aku mencintaimu bukan karena siapa engkau, tapi karena siapa aku ketika aku bersama engkau!" - itu adalah petikan sajak Roy Croft. Juga kalau kau mendengar kalimat: Kau tidak mencintai seseorang karena wajahnya, atau karena pakaiannya, atau karena mobil mewahnya, tapi karena dia menyanyikan lagu yang hanya kau yang bisa mendengarkannya." Hmm, aku sedang mendengarkan lagu dari segelas kopi. Ah, ya, aku juga sedang bernyanyi, mengikuti lagu itu! Kau dengarkah? [] @ hasan aspahani di 7:57:00 AM Label: dongengkopi Reaksi: 31 OKTOBER 2010 [ Dongeng Kopi # 001] Bodoh Bersama Cinta SAYA kira, penyair Prancis yang lahir pada 1871, itu benar-benar benar, Kawan. Cinta itu, kata Paul Valery, adalah semacam kesepakatan untuk menjadi bodoh bersama-sama. Bodoh? Mungkin yang ia maksud adalah menyingkirkan dulu logika. Bukankah memang itu yang terjadi ketika kita jatuh cinta? Bukankah ketika kita jatuh cinta, kita kerap jadi orang yang berakal pendek? Bukankah banyak tokoh - kita bisa membacanya dalam berbagai kisah - terberanikan oleh tenaga cintanya? Saya mau buat kesimpulan sendiri, dan kau boleh tidak setuju, Kawan. Begini: Ketika kau jatuh cinta, kau mencintai seseorang, dan kau masih bisa memberdayakan logika akalmu, maka kukira kau belum benar-benar mencintai dia. Aku akan meragukan cintamu itu, Kawan. Ha ha ha. Ayo, tambah kopimu![] @ hasan aspahani di 9:54:00 AM Label: dongengkopi Reaksi: 27 OKTOBER 2010 Aku Belum Tua

JIKA nanti 70 tahun umurku, aku belum tua. Itu artinya ada dua orang lelaki di dalam tubuhku, yang masing-masing 35 tahun usianya. Ya, aku belum tua. Rasanya baru saja, melihat anak muda tamat SMP, tak bisa sekolah ke SMA, lalu jadi pemanjat dan pemikul buah pinang. Rasanya baru saja, nasib baik menjemput dan tangan yang baik mengulurkan bantuan. Rasanya, ya, baru saja. Aku merasa, aku belum lagi tua. Ya, aku belum tua, aku mau menghaturkan bakti pada guru-guru yang besar jasanya, yang mengajari kaki-kaki ini berjalan dan berlari, mengajari hati teguh dan kukuh menuju ke jalan terang ini, ke bentang waktu kini, yang mengajari tangan melipat amplop dinas dari kertas bekas di kantor kecamatan! Ya, aku merasa, aku belum lagi tua. * Jika nanti 80 tahun umurku, aku belum tua. Itu artinya ada empat orang lelaki di dalam tubuhku, yang masing-masing 20 tahun usianya. Itu sebabnya, aku merasa, aku belum akan tua. Empat orang lelaki muda, yang sudah ribuan kali berenang menyeberangi sungai, menaklukkan teluk, memanjat ratusan batang pinang, dan berlayar tanpa tiket di kapal yang membawa ke kampus di seberang, kucing-kucingan dengan petugas kelasi, seperti hidup yang harus disiasati, tahu mana buritan dan haluan, dan aku sudah tahu jawaban cerdik atas setiap pertanyaan yang diajukan, "Kau mau kemana? Kau akan sekuat dan sejauh apa berjalan?" Dan aku melihat sabut kulit kelapa, hanyut dan sampai juga akhirnya. Ini bukan kepasrahan, ini adalah keselarasan, memahami arus sungai dan gerak gelombang! Ah, akulah itu, empat orang muda, dengan gairah nyala, dan aku merasa belum akan tua. * Jika nanti 90 tahun umurku, aku belum tua. Itu artinya, ada sembilan anak usia 10 tahun, di halaman sekolah kehidupan, riang bermain, sepanjang hari, memutar gasing di bumi, dan mengulur layang-layang ke langit yang tinggi. @ hasan aspahani di 1:23:00 PM

Jangan Menangis, katamu, Karena Itu Aku Menangis!

KITA seperti sepasang anggota terakhir kelompok musik rock yang sebenarnya sudah bubar lama. Sia-sia bertahan, lagi mendengarkan, lagu-lagu kita, yang kini terasa sangat menyakitkan Seperti membuat luka baru di kelopak bunga luka lama yang belum layu! Lihat, segar sekali darah dan merah itu: darah dan merah khianat, darah dan merah dusta, darah dan merah dosa! Kita mungkin harus sempurnakan kebersamaan ini dengan saling melukai dan mati, mengenang keinginan lucu itu: Berpose di sampul majalah Rolling Stone? Album kita ditandai lima bintang 5 di rubrik Review? Dan kita saling berdusta di halaman Interview? Mereka lari dan mencuri lagu-lagu kita ribuan kali! Kita terpenjara dan tak lagi bisa gubah nada-nada baru Sepi menguasai, tata suara mati: mempertegas garis sunyi. Kita menjadi sepasang penyair malang, menjadi penakut, simpan ribuan bait banci di laci, benci gagal sembunyi!

Aku Coba Mengerti Galaumu, Galau Kita Itu

KALAU engkau galau, aku akan engkaukan aku. Galau kita itu, ia datang dari segala kala, ia singgah dari seluruh walau. Ya, galau itu adalah walau, bukan kalau. Walau yang mudah dihalau. Kalau kelak menawarkan atau, bagi aku dan bagi engkau.

Aku Pernah Melihat Senyum Terindah di Dunia

BEGINILAH, hukum dari penghakim ini aku terima: Aku sampai padamu, tapi tak bisa mencapai engkau * Kau sang penghakim itu! Aku yang meminta dijatuhi vonis seberat-beratnya: cinta tak bersambut cinta Dari batas lingkar pagar, aku bukan bagian mereka para turis menyilaukan engkau, menjunjung kamera * Ketika mereka bilang, "Aku sudah lihat senyum itu, senyum terindah di dunia!", aku dengar tangis tiga: tua tangis Leonardo, tajam tangismu, sesak tangisku. Tiga tangis yang bersama-sama, serenta mau berkata, "Kalian tak dengar tangis, tangis terindah di dunia!" * Beginilah, hukum dari penghakim ini aku jalani: tak ada jeruji, tak ada sipir, tak ada jatah nasi Artinya, kau tak tahu harus menjengukku di mana!

Di Matamu, Pejamku Berlabuh

: M Aan Mansyur PADA secawan coto itu, kita dengar lidah bersabda: Tuntutlah rasa sampai ke negeri Mangkasara. Lalu, kita saling suap, dengan satu sendok yang sama, dan saling memejam, menebak apa yang akan terjadi di lidah kita, oleh panas, pedas, kental, dan keruh kuah. "Ini sendok yang keberapa?" kita saling tanya. Aku berkali-kali menyayangi sebilah sendok, lalu patah atau hilang begitu saja. Sendok itu, di suatu hati yang membentang laut sendiri, menjadi pengayuh di tangan seorang pelayar yang asing. * Pada secawan soto itu, kita tebak yang tertakung, di sendok cekung: babat, usus, paru, hati, dan limpa, atau jantung? Segalanya serba sepotong, dan api di dapur belum padam, telah menyala berjam-jam. Engkau sejak semula telah bilang, "nanti aku akan menangis," dengan air mata pedis yang membuat mataku memar, sememar serai, hijau seperti taburan daun seledri, yang semalaman kau iris tipis-tipis, sangat tipis. Kita bisa saja lupa pada kecap, atau perasan jeruk nipis, pada ayat di kitab, atau petikan riwayat hadis, atau pura-pura tak tahu pada ruap uap lengkuas, tapi pada saat-saat manis, setelah bergundah seperti ini, bisakah kita saling meniadakan? Menghapus yang begitu saja ada di sana? Nama yang membaca kita? * Rawan, bimbang, mengapung bagai iris-irisan dari sebatang: panjang daun bawang, sendok kita, mengaduk, seperti dayung perlahan mengelak rumpun kiambang Genangan yang mendanaukan gerimis, sepasang airmata kita. Di mulutmu, mulutku menepi Di lidahmu, lidahku bertambat Di matamu, pejamku berlabuh.

Hari Ini, Betapa Indahnya

SUNGGUH, dunia penuh marabahaya Aku tak akan membantahnya, Aku punya alasan, Tuhan, bahkan ada dua kali banyaknya untuk berkeluh-kesah; Karena datang hujan dan badai, aku resah Dan langit seringkali kelabu; Di jalanan, aku luka oleh jeruju dan semak berduri, tapi bukankah, hari ini alangkah indahnya? Apa gunanya senantiasa menangis, berlalukah bahaya karenanya? Apa gunanya selalu saja memikirkan masa lalu yang sudah berlalu? Segalanya pasti pernah sengsara - Air dengan anggurnya; Hidup, memang bukan sebuah pesta. Marabahaya? Aku pernah menanggungnya, Tapi hari ini, ah, betapa indahnya! Inilah hari, hari kehidupanku, Bukan sebulan yang sudah lalu. Datang; hilang, meraih; memberi; Begitulah beriring waktu Kemarin kabut penderitaan Jatuh di sepanjang jalan, Mungkin akan hujan lagi esok hari, Ya, mungkin akan hujan lagi - tapi aku bilang, Bukankah, ini hari alangkah indah?

Kamis, 12 Juli 2012

Ingatan

INGATAN atasmu adalah gulma, kucabuti sesempatnya, lalu kau tumbuh lagi setabah waktu. Setahan itu kau bertahan, padaku yang tak bisa tahan. Ingatan atasmu adalah benang laba-laba, sarang yang tak pernah selesai, merajut diri sendiri, tapi juga tak pernah bisa habis kubersihkan.

waktu

WAKTU adalah ombak, tak akan pernah sampai ke pantai Kita terima takdir peselancar Hidup dari gerak ke gerak Jika diam, kita tenggelam * Kalau kita jatuh, terbantai, kitalah yang menjadi pantai, Di mana ombak kita berakhir, Kita menyatu menjadi waktu.

Mengatakan Aku, Mengakukan Kata

HANYA kata. Tapi, itulah awal jadi dari segalanya Hari kubuka dengan kata. Hati sembunyi dalam kata * Aku ingin bebas dari kata, tapi aku menjadi kata Aku ingin bebas dari aku, dibebaskan oleh kata

Ricauan

JANGAN bohongi aku. Aku sudah cukup banyak membohongkan engkau pada diriku sendiri. Aku lebih percaya pada dusta-dustaku sendiri.