Jumat, 13 Juli 2012

Di Matamu, Pejamku Berlabuh

: M Aan Mansyur PADA secawan coto itu, kita dengar lidah bersabda: Tuntutlah rasa sampai ke negeri Mangkasara. Lalu, kita saling suap, dengan satu sendok yang sama, dan saling memejam, menebak apa yang akan terjadi di lidah kita, oleh panas, pedas, kental, dan keruh kuah. "Ini sendok yang keberapa?" kita saling tanya. Aku berkali-kali menyayangi sebilah sendok, lalu patah atau hilang begitu saja. Sendok itu, di suatu hati yang membentang laut sendiri, menjadi pengayuh di tangan seorang pelayar yang asing. * Pada secawan soto itu, kita tebak yang tertakung, di sendok cekung: babat, usus, paru, hati, dan limpa, atau jantung? Segalanya serba sepotong, dan api di dapur belum padam, telah menyala berjam-jam. Engkau sejak semula telah bilang, "nanti aku akan menangis," dengan air mata pedis yang membuat mataku memar, sememar serai, hijau seperti taburan daun seledri, yang semalaman kau iris tipis-tipis, sangat tipis. Kita bisa saja lupa pada kecap, atau perasan jeruk nipis, pada ayat di kitab, atau petikan riwayat hadis, atau pura-pura tak tahu pada ruap uap lengkuas, tapi pada saat-saat manis, setelah bergundah seperti ini, bisakah kita saling meniadakan? Menghapus yang begitu saja ada di sana? Nama yang membaca kita? * Rawan, bimbang, mengapung bagai iris-irisan dari sebatang: panjang daun bawang, sendok kita, mengaduk, seperti dayung perlahan mengelak rumpun kiambang Genangan yang mendanaukan gerimis, sepasang airmata kita. Di mulutmu, mulutku menepi Di lidahmu, lidahku bertambat Di matamu, pejamku berlabuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar